Social Icons

Pages

Selasa, 10 Mei 2011

Lobster Laut ke Darat

Lobster-lobster yang mencapai bobot rata-rata 100 g/ekor itu dipelihara Handoko dari ukuran 15 - 20 g/ekor di rumahnya di Bungur, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Udang karang itu menempati sekitar 12 petak kolam semen berukuran 1,5 m x 2 m berkedalaman 1 m serta belasan akuarium berukuran 90 cm x 60 cm x 40 cm. Pada setiap kolam dengan air setinggi 20 cm ditaruh 100 ekor dan 15 ekor pada tiap-tiap akuarium. Total jenderal ada 1.000-an  anakan lobster yang dipelihara sejak Desember 2009.


Lobster yang didatangkan Handoko dari Cilacap (Jawa Tengah), Pelabuhanratu, dan Pangandaran (Jawa Barat) itu terdiri atas 3 jenis: udang bambu P. versicolor, udang pasir P. homarus, dan udang mutiara P. ornatus. ‘Ketiganya tidak dipisahkan, melainkan dicampur menjadi satu saat dibesarkan,’ katanya. Hal itu tak lepas dari ketersediaan bibit. Saat wartawan Trubus Lastioro Anmi Tambunan berkunjung pada awal Mei 2009 tidak ada perlakuan istimewa untuk membesarkan lobster laut itu. Air laut sebanyak 5 m3 dibeli seharga Rp350.000 untuk mencukupi kebutuhan air di seluruh kolam dan akuarium. ‘Air hanya sekali dibeli. Berikutnya air tinggal difilterisasi sampai masa panen,’ kata pria 72 tahun yang memberikan pakan ikan rucah sebanyak 3 kg/hari untuk setiap 700 lobster itu.
Populasi menurun
Teknik budidaya yang dirintis Handoko itu termasuk luar biasa. Selama ini pembesaran lobster hanya dilakukan di karamba jaring apung (KJA) bekas budidaya kerapu, seperti terjadi di Pacitan, Jawa Timur. Namun itu baru sebatas penelitian, meski hasilnya cukup memuaskan. Dari anakan udang karang berbobot 50 g/ekor yang dipelihara selama  4 bulan dengan pakan ikan rucah, bobot konsumsi di atas 100 g/ekor dapat dicapai.
Di luar habitat asli? Balai Benih Ikan Pantai Sundak, Gunungkidul, Yogyakarta, pernah meriset pembesaran anakan udang di bawah bobot 100 g/ekor memakai bak beton. Dengan pakan kerang dan bulu babi, bobot di atas 100 g/ekor dicapai dalam 2 - 3 bulan pemeliharaan. Dari penelitian itu juga diperoleh rata-rata pertumbuhan lobster sebesar 25 - 40 g/ekor. Sayang riset itu tidak berlanjut lagi pascagempa 2006.
Menurut Dr Ir Dwi Eny Djoko Setyono MSc peluang membesarkan anakan lobster (fattening) di luar habitat aslinya sangat besar dan belum banyak dilirik. ‘Beberapa tahun ini disinyalir telah terjadi penurunan populasi lobster di alam,’ kata peneliti udang yang kini menjadi kepala Unit Pelaksana Teknis Loka Pengembangan Bio Industri Laut (UPT-LPBIL) LIPI di Mataram, Nusa Tenggara Barat. Penurunan itu tampak dari ukuran lobster tangkapan. Di perairan selatan Jawa seperti di Banyuwangi, Pacitan, dan Pangandaran, pada musim penangkapan lobster sekitar November - Januari, lebih banyak diperoleh anakan lobster   yang belum layak jual karena bobotnya kurang    dari 100 g/ekor.
Kalaupun laku harganya rendah, sekitar Rp25.000 - Rp50.000/kg dibandingkan ukuran dewasa yang mencapai Rp350.000 - Rp400.000/kg.  Anakan lobster yang laku paling banter dijadikan keripik atau peyek (Jawa). ‘Padahal masih bisa dibesarkan lagi dengan harga lebih bagus,’ kata Handoko yang menyebut kondisi itu sebagai latar belakang saat ia memutuskan untuk membesarkan lobster laut di kolam.
Filter sederhana
Tidak sulit merawat lobster di luar habitat aslinya. Menurut Handoko agar anakan lobster nyaman, pada dasar kolam, misalnya, ditaruh karang meniru habitatnya. Untuk mencegah kanibalisme saat anggota keluarga Palunuridae itu berganti kulit, kolam diberi tanaman air seperti red grass.
Sejatinya anakan lobster memerlukan tempat berlindung. Di alam pada awal perkembangan hidupnya, udang karang bersifat bentik dan hidup merayap. ‘Anakan udang secara naluri  selalu mendekati sebuah benda yang dapat digunakan untuk melindungi diri dari predator,’ kata Dwi Eny. Meski demikian sifat itu akan hilang sejalan lobster tumbuh dewasa. Artinya peluang terjadinya kanibalisme menjadi kecil. Berbeda dengan lobster air tawar yang hingga besar pun tetap memiliki sifat kanibalisme tinggi.
Oleh karena dipelihara di kolam, sistem filterisasi menjadi penting. Handoko memakai 3 filter untuk menyaring kotoran. Pada filter pertama ditaruh pasir. Filter kedua ditaruh karang-karang kecil dan filter terakhir yang menjadi sumber air tidak diberi material, tetapi menampung limpahan air dari filter ke-2 yang masuk melalui pancuran. Hal itu dilakukan untuk menaikkan kadar oksigen terlarut sebelum air dialirkan kembali ke kolam.
Menurut Prof Dr Ir Asikin Djamali, praktikus budidaya ikan laut di Jakarta, kualitas air untuk ikan laut budidaya harus bagus. ‘Rata-rata salinitas sekitar 28 - 32 ppt, pH di atas 7, dan kadar oksigen terlarut berkisar 5 - 8 ppm,’ katanya. Di luar itu pertumbuhan ikan dapat terganggu. Maka dari itu Asikin mengingatkan pelaku budidaya di luar habitat asli untuk benar-benar mengukur parameter itu. Maklum sering kali air laut yang dijual kadar garamnya berkisar 25 ppt.
Pilih kerapu macan
Komoditas perikanan laut bernilai ekonomis tinggi lain yang dicoba untuk dibesarkan di luar habitat aslinya adalah kerapu. Sejak akhir 2008 Bernard Raharjo di Meruya Utara, Jakarta Utara, mencoba membesarkan 500 bibit kerapu macan Epinephelus fuscogutattus di kolam 1,5 m x 3 m berkapasitas 1.200 - 1.500 liter air. ‘Kerapu macan dipilih karena pertumbuhannya relatif lebih cepat dibanding jenis kerapu lainnya,’ kata alumnus Jurusan Komputer Universitas Bina Nusantara di Jakarta itu. Pada budidaya KJA kerapu macan berbobot 500 g/ekor dicapai setelah sekitar
8 - 10 bulan dipelihara. Itu lebih cepat daripada kerapu tikus Chromoleptis altivelis yang membutuhkan waktu 10 - 12 bulan.
Kerapu-kerapu itu dipelihara sama seperti yang dilakukan Handoko. Air rutin difilterisasi dan ikan rucah menjadi pakan sehari-hari. Sayang, sekitar 2 bulan dipelihara satu per satu kerapu yang telah mencapai bobot 200 g/ekor itu mati. ‘Dalam seminggu 250 mati,’ kata Bernard. Hal itu terjadi akibat lonjakan amonia dari sisa pakan dan kotoran yang tidak tersaring ketika proses filterisasi. Kini yang tersisa hanya 2 ekor berbobot 600 g/ekor yang kemudian dipindahkan ke dalam akuarium.
Kabar keberhasilan budidaya kerapu secara indoor justru terjadi di Hongkong, importir terbesar kerapu tanahair. Sebuah perusahaan dari Australia menyulap lantai 14 gedung tempatnya berkantor di Chai Wan menjadi kolam-kolam pembesaran kerapu sunu dan tikus. Di area kolam seluas    1.000 m2 itu bibit kerapu sepanjang 6 - 10 cm tumbuh  dan berkembang hingga berbobot 500 g/ekor dalam tempo 10 bulan. Kunci keberhasilan perusahaan itu membudidayakan kerapu terletak pada sistem filterisasi modern.
Melirik abalone
Di luar lobster dan kerapu, masih ada abalone yang kini sudah bisa dibudidayakan di luar habitat asli. Di tanahair pembesaran abalone baru sebatas riset yang saat ini fokus pada usaha pembibitan (baca: Titik Putih Kerang Mata Tujuh, hal 80-81).
Meski demikian di negeri jiran, Malaysia, siput laut yang menjadi hidangan istimewa di Perancis, Selandia Baru, dan beberapa negara Asia seperti Jepang dan Taiwan, itu sudah sukses dibudidayakan. Menurut Llewellyn  Mc Givern dari   PT Tangaroa Aquaculture, eksportir abalone di Penang, Malaysia, mereka sudah bisa membesarkan abalone jenis Haliotis discus  di bak-bak semen di ruangan seluas 8.000 m2.
Posisi farm Tangaroa tak seberapa jauh dari tepi  pantai, sehingga air laut dapat dialirkan langsung dari sana. Air laut itu difilterisasi untuk kemudian melewati membran berdiameter 5 mikron sebelum masuk ke kolam pembesaran. ‘Air laut yang ‘baru’ hanya 20%, sisanya air laut lama yang diresirkulasi ulang,’ ujar Mc Givern. Dengan cara itu Tangaroa bisa memproduksi abalone hingga 5 ton per tahun.
Handoko, Bernard, dan Mc Givern hanya segelintir pelaku yang dapat ‘membaca’ bahwa membudidayakan komoditas unggulan perikanan di luar habitat aslinya berpeluang menjadi bisnis besar. Apalagi ketiga komoditas yang ditampilkan di atas keberadaannya di alam terus menyusut seiring maraknya penangkapan liar. Handoko telah memulai, Anda? (Dian Adijaya S/Peliput: Destika Cahyana dan Suci Rahmasari)

  1. Lobster tangkapan alam kian menyusut jumlahnya
  2. Lobster mutiara P. ornatus
  3. Lobster laut kini dapat dibudidayakan di luar habitat asli. Dalam tempo 4 bulan dicapai bobot 100 g/ekor dari 15 - 20 g/ekor
  4. Udang karang dapat juga dibesarkan di akuarium
  5. Handoko sukses besarkan lobster laut di kolam dan akuarium
  6. Di Hongkong, kerapu tikus ukuran 6 - 10 cm sukses dibesarkan di kolam hingga berbobot 500 g/ekor
  7. Kerapu tikus berpeluang dibesarkan di luar habitat asli asalkan filterisasi berjalan bagus

1 komentar: