Social Icons

Pages

Sabtu, 23 April 2011

Budaya Tana Toraja


Menganyam Tikar
Tikar tradisional lazimnya terbuat dari daun tanaman famili Pandanaceae. Namun, Rolempang—warga Desa Ballapeu, Kecamatan Balla, Kabupaten Mamasa—menggunakan rumput dari famili Poaceae untuk membuat tikar. Perlu waktu 1 minggu untuk membuat selembar tikar berukuran 2 x 3 m oleh 1 orang. Tikar itu dibanderol Rp100.000 per lembar.
Alat Tenun Bukan Mesin
Sejak duduk di kelas 5 SD Damaris menekuni kerajinan tenun. Sampai hari ini, saat umurnya 35 tahun, ia masih menenun. Sepintas, pekerjaan itu jauh dari menyenangkan. Penenun bekerja sejak pagi sampai senja, 8—10 jam, terus menerus duduk. Sebilah kayu, terikat pada alat tenun, menyangga pinggang belakang Damaris. Itu untuk mencegah perubahan bentuk tulang belakang. Hasil tenunan Damaris, sehelai kain berukuran 0,5 x 10 m, selesai dalam 2—3 minggu dan berbanderol Rp300.000.
Pusara Kerbau
Pusara berbentuk kerbau ini bisa memuat tulang belulang hingga 8 orang sekaligus. Ahli waris keluarga memindahkan tulang belulang itu jika kubur di celah batu mulai penuh. Kini, kompleks pemakaman di Kecamatan Balla, Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat, itu penuh sehingga tidak digunakan lagi.


Rangkaian Tanduk Kerbau
Masyarakat Toraja mengantar kepergian kerabat mereka ke alam baka dengan upacara megah dengan menyembelih kerbau. Semakin banyak menyembelih kerbau, semakin tinggi status sosial. Keluarga yang berduka lantas memasang tanduk kerbau di depan rumah untuk menunjukkan status sosial mereka.
Alang Padi
Ciri masyarakat agraris melekat kuat pada masyarakat Toraja dengan keberadaan lumbung—disebut alang. Keluarga Pong Rekun—seorang terpandang di Kecamatan Balla, Kabupaten Mamasa, memiliki 8 alang di seberang rumah mereka. Jumlah alang menggambarkan jumlah anak yang berhak memperoleh pembagian warisan.
Membangun Tongkonan
Tongkonan—rumah adat Toraja—berdiri tanpa sebatang paku pun. Kayu uru Elmerrillia celebica menjadi andalan untuk tongkonan. Pasalnya, kayu yang tumbuh di hutan Sulawesi itu keras, berurat tegas, dan tahan perubahan cuaca. Pembuatan tongkonan berukuran 1,5 kali luas lapangan voli itu memerlukan 2—3 bulan dengan biaya Rp300-juta—Rp500-juta.
Alang Purba
Banyak orang menduga ini alang yang pertama kali berdiri di Tana Toraja. Itu berhubungan dengan sejarah etnis Toraja, yang semula mendiami gua. Saat pertama membuat perkampungan dan menanam padi, mereka memikirkan tempat aman untuk menyimpan bahan pangan. Muncullah ide membuat alang yang lantainya lebih tinggi dari tanah sehingga simpanan padi terlindung dari kelembapan atau gangguan hewan.
Kubur Batu
Usai sudah upacara pemakaman. Keluarga lantas membawa jenazah ke celah tebing batu dan meninggalkannya dalam sunyi. Untuk melindungi dari pengaruh cuaca, masyarakat Toraja menempatkan tulang belulang dalam kotak kayu berbentuk replika tongkonan. Keluarga menempatkan replika itu di celah-celah batu, kadang sampai setinggi 7 m dari dasar tebing.
Perkampungan Kete' Kesu
Dalam kepercayaan masyarakat, kampung Kete' Kesu dianggap perkampungan pertama nenek moyang etnis Toraja setelah berpindah dari tradisi menetap di gua menjadi penghuni perkampungan. Namun, tidak ada yang tahu pasti berapa umur bangunan-bangunan di sana. Ukiran indah menghiasi sisi-sisi tongkanan Kete' Kesu, menunjukkan kemahiran nenek moyang etnis Toraja.
Peti Mati
Kayu uru Elmerrillia celebica menjadi andalan masyarakat Toraja untuk mengantarkan anggota keluarga ke tempat peristirahatan terakhir. Peti seharga Rp10-juta itu menjadi peraduan jenazah dalam seremoni Ma' Badong—upacara pemakaman berbiaya ratusan juta rupiah. Saat upacara, kerabat beramai-ramai mengangkat peti ke lakkean—panggung khusus untuk menempatkan peti selama upacara kematian.
 Sumber: Galeri Trubus

Tidak ada komentar:

Posting Komentar